Bismillahirrahmanirrahim
Ini adalah kebuah kisah tentang
faith. Alias keyakinan. Keyakinan akan adanya Allah. Keyakinan akan adanya
janji Allah bahwa kemudahan itu akan hadir “bersama” kesulitan. Bukan “setelah”
kesulitan ya. Karena maknanya akan sangat berbeda “bersama” dan “setelah.” Meski pada praktiknya hal itu butuh ilmu dan
kesabaran untuk bisa membedakan.
Kisah ini emak saras angkat dari
sebuah buku lawas karya Tere Liye yang berjudul Moga Bunda Disayang Allah. Buku
yang emak pinjam dari Perpustakaan Daerah Jateng ini adalah buku kesekian belas
dari Tere Liye yang emak baca bawa pulang. Nagih. Selalu ingin baca
tulisan-tulisannya yang “sederhana” tapi sarat hikmah dan makna. Membuat emak
makin merasa, I’m nothing without Allah.
Adalah janji masa depan yang
lebih baik yang menjadi ruh buku ini. Seorang pemuda yatim piatu Allah hadirkan
berada dalam lingkungan yang keras namun mampu melebur dan membuat loncatan
perubahan. Pas banget dengan nama tokoh utama di buku ini : Karang. Siapakah
Karang sebenarnya, apa yang ia perbuat hingga bisa mengubah dunia? Dunia
seorang anak yang lumpuh layu hingga bisa berjalan. Dunia seorang anak buta,
bisu, tuli tapi akhirnya bisa berkomunikasi dengan lingkungannya? Ah, emak saja
merinding saat mengetik ini. Dahsyatnya keyakinan penting kita genggam lewat
hikmah buku ini…
Buku Moga Bunda Disayang Allah
Prolog
Prolog buku ini justru bukan
bercerita tentang Karang. Tapi tentang Melati. Anak semata wayang Tuan dan Nyonya HK. Melati berusia 6 tahun dan
punya keterbatasan. Ia buta dan tuli sekaligus. Namun disabilitasnya tidak
diperolehnya saat lahir. Tiga tahun terakhir setelah Melati jatuh terduduk
setelah keningnya terkena fresbee. Peristiwa itu terjadi di pantai sebuah pulau
peristirahatan. Lepas dari jatuhnya, Melati
kerap menabrak benda yang ia lalui di hadapannya. Dari situ dokter menyatakan anak itu buta.
Lalu fungsi pendengarannya pun makin menurun beberapa hari setelah kejadian
itu.
Sejak itu hidup Melati dan
keluarganya berubah. Melati terhambat berkomunikasi. Ia terputus dari dunianya,
masa kecil, hingga ayah ibunya pun tak bisa paham apa maksud erangan, amukan ,
dan tangisan Melati. Hingga belasan
dokter, tim ahli didatangkan untuk menyembuhkan Melati. Namun rupanya
keberuntungan belum berpihak pada keluarga HK.
Hingga tokoh Karang dihadirkan
penulis yang awalnya tak ada kaitannya dengan Melati. Seorang pemuda frustasi
yang kerjaannya hanya mabuk, tidur, minum obat sakit kepala, dan marah-marah.
Karang tinggal bersama ibu asuhnya di sebuah rumah tingkat di perkampungan
padat penduduk di dekat pantai.
Isi Cerita
Karang dulunya bukan pemuda tanpa
masa depan. Justru ia pernah sukses mendirikan taman-taman bacaan untuk
anak-anak jalanan di ibukota. Karena sebenarnya ia pun lahir tanpa ayah ibu dan
sempat merasakan kerasnya hidup di jalanan. Hingga ia ditampung oleh pasangan
suami istri yang sayang pada anak-anak
dan mengabiskan sisa umurnya menjadi orang tua asuh. Kesuksesan orang tua asuh
membesarkan anak-anak non biologisnya itu membentuk Karang punya dendam positif
pada masa lalunya. Ia bertekad akan menjadikan anak-anak di sekitarnya lebih
baik dari dirinya. Karang merasa perlu hadir diantara mereka. Karena masa kanak-kanak
adalah sebuah peluang mewujudkan janji masa depan yang lebih baik.
Bersama teman-temannya, Karang
mendongeng, menceritakan isi buku, mengajak anak-anak di taman bacaan untuk
bermain dan belajar. Hingga taman bacaannya menjamur di kota itu. Ia pun
terkenal mampu “menaklukan” anak-anak. Termasuk Qintan, seorang anak lumpuh
layu, kakinya mengecil karena penyakit yang dideritanya. Karang “hanya” rajin
menemaninya membacakan buku, memotivasi Qintan kecil lewat kisah-kisah heroik.
Menjawab segala keingintahuan Qintan. Hingga terbangun kepercayaan diri anak
itu untuk mau menjajal melangkah meski ia selalu kembali terjatuh. Qintan yang
ceria, Qintan yang optimis dan semangat akhirnya bisa benar-benar berjalan
walau hanya sebatas memutari taman bacaan.
Konflik Pertama
Tere Liye sukses membangun
ketegangan saat Karang beserta para kakak di taman bacaan berikut adik-adiknya
berjuang melawan takdir saat kapal yang mereka tumpangi terkena badai. Latarnya
adalah saat diadakan wisata air di sebuah laut lepas. Keceriaan yang tercipta
di siang hari karena menikmati pemandangan laut, ikan, dan langit biru berbalik
180 derajat menjadi musibah di perjalanan pulang. Kapal itu terbalik, semua
penumpang tercebur ke laut dan muncul kepanikan dimana-mana. Anak-anak taman
bacaan tak semuanya bisa berenang apalagi di tengah ombak yang mengganas.
Hingga tim penyelamat datang, ada 18 anak mati tenggelam termasuk Qintan.
Sisanya selamat termasuk Karang dan kakak-kakak pembina taman bacaan.
Kejadian itu menorehkan luka
seisi kota hingga Karang diseret ke pengadilan karena tuduhan tak hiraukan
keselamatan anak. Singkat kata, Karang bebas dari tuduhan karena itu sejatinya
musibah. Memang itu musibah di luar kuasa manusia. Namun Karang terlanjur
menyalahkan dirinya lebih dari apa yang pengadilan tuduhkan. Mentalnya tak
kuasa menghapus bayangan 18 anak yang mati kedinginan. Frustasi, depresi dan
ingin membayarnya dengan mati pula. Namun ia memilih meninggalkan taman bacaan
itu termasuk menyingkirkan Kinasih, seorang yang telah jatuh hati pada pemuda
itu terlepas dari musibah yang dialaminya. Jadilah Karang yang terus mengutuk
dirinya dari hari ke hari selama 3 tahun terakhir.
Konflik Kedua
Kinasih yang akhirnya tau dimana
Karang “bersembunyi” merekomendasikannya untuk membantu menyembuhkan Melati.
Kinasih meminta Bunda, ibu Melati untuk mengirim surat pada Karang. Tentu saja
Karang awalnya tak peduli hingga ibu angkatnya mencoba menengahi. Singkat
cerita, Karang mau membantu Melati. Meski awalnya Karang belum merubah sikap
dan penampilannya. Gondrong, bercambang, berkumis, mulut bau alkohol, dan
ucapan ketus dan sarkasme.
Melati yang hanya bisa
mengeluarkan suara “Baa…Maa” mudah sekali emosi saat tangan atau tubuhnya disentuh.
Apalagi dengan perangai Karang yang kasar, Melati pun kerap mendapat perlakuan
yang jauh dari definisi lembut. Hingga perilaku mabuknya sampai hari kelima
belum berubah, membuat Karang mesti diusir dari kediaman Melati. Tuan HK yang
memegang teguh prinsip tak boleh ada pemabuk tinggal di rumahnya tanpa ampun melarang
Karang mendekati Melati apalagi tinggal di sana.
Namun di saat pecah perang itu
justru kemurahhatian Allah datang. Melati akhirnya bisa makan sendiri dengan
sendok. Sebuah kemajuan setelah Karang mendidiknya dengan cara “berat” meski
sebenarnya pemuda itu belum puas. Melati hanya cacat di mata dan telinganya,
tapi otaknya tidak. Karang akhirnya mendapat kesempatan kedua untuk mendidik Melati
tanpa sepengetahuan Tuan HK karena sedang urusan bisnis di luar negeri selama
3 pekan. Bunda HK rela merahasiakan kejadian tersebut dari suaminya demi harapan masa depan anak satu-satunya.
Selama 21 hari itulah Karang
memanfaatkan waktu terbaiknya. Hingga Allah mengizinkan Karang berubah. Ia mencukur
rambut dan jambangnya dan berjanji tak menyentuh minuman keras. Ia pun
melunakkan sikapnya pada penghuni rumah besar itu. Ia pun merasa, “kekuatan”
itu datang lagi. Kekuatan untuk bisa mengerti jiwa dan perasaan anak-anak.
Beragam cara Karang lakukan untuk mendobrak tembok komunikasi Melati dengan
dunia luar. Namun hingga di injury time, upaya itu nihil.
Hingga Karang pun bisa merasakan mengapa ada ketidakadilan Allah untuk anak sekecil Melati. Apalagi Bunda yang terus menerus diuji kesabarannya menerima kenyataan bahwa penerus keturunannya hampir tak punya masa depan.
Konflik Ketiga
Hampir saja pecah perang dunia
lagi saat Tuan HK pulang satu hari lebih cepat dari rencana awal. Mendapati pemuda yang pernah
diusirnya berada di meja makan bersama istri dan anaknya, langsung saja ia naik
pitam. Keributan pun terjadi namun sejenak berujung ke kepanikan. Melati tak
lagi berada di kursinya. Semua orang panik mencari ke semua sudut rumah. Anak
berambut ikal dan bermata bulat hitam bak kelereng itu ternyata duduk di dekat
air mancur taman rumah besar itu.
Saat Bunda hendak merengkuhnya
kembali masuk ke dalam rumah, Karang mencegahnya. Ia melihat ada yang berbeda
dari ekspresi Melati. Saat itulah datang lagi cahaya kasih sayang Allah pada
keluarga ini. Keputusasaan yang menghampiri di akhir waktu terbayar saat itu
juga. Melati tersenyum bahagia saat merasakan ada aliran air melewati sela-sela
jarinya. Sepertinya Melati paham betul apa yang ada di hadapannya. Sehingga ia begitu menikmati momen itu.
Karang terhenyak. Ia terlupa
bahwa ada satu metode yang terlewat ia ketahui. Metode Tadoma yang menjadi pintu pembuka
komunikasi si anak buta tuli itu. Bunda tak lepas haru dan tangisnya saat
Karang mulai menuliskan huruf A-I-R di telapak tangan anak yang dicintainya
itu.
“Ini a-i-r Melati..” Karang menamai benda sejuk itu ke Melati.
Suara Karang mulai melembut dan menyentuhkan telapak tangan Melati ke depan bibirnya. Metode Tadoma inilah yang menjadi cara Melati untuk belajar mengenali benda-benda di sekelilingnya. Termasuk wajah Karang, Bunda, dan Tuan HK. Metode ini menggunakan saraf di telapak tangan untuk mengenali benda. Lalu menyentuh bibir dan urat biacara di leher untuk mengenali tiap perbedaan benda.
Setelah kejadian
itu, tak lelah-lelahnya Melati bertanya semua hal, semua benda. Layaknya air
bah yang menjebol tembok bendungan rasa ingin tahunya. Karang juga mengajarkan Melati membaca huruf Braille. Perubahan demi perubahan terjadi atas kehendak-Nya. Meski masih butuh beberapa tahun lagi untuk Melati paham semua hal namun janji masa depan telah hadir.
Epilog
Tuan HK akhirnya terbuka hatinya. Ia ikut memanggil Karang dengan sebutan "Pak Guru" seperti Salamah si asisten rumah tangga dan Mang Jun sang tukang kebun. Namun Bunda tetap memanggil pemuda itu “anakku.” Bunda juga memperbanyak koleksi buku dongeng untuk dibacakan ke Melati. Sejak saat itu, Melati menjadi anak yang manis dan penurut.
Meski sikapnya berbalik seperti semula dan menolak ditemui saat Karang
memutuskan untuk pamit dan kembali ke kota bersama Kinasih. Ada banyak anak
yang butuh pula “diselamatkan” masa depannya oleh Karang. Akhirnya Melati mau
menemui Karang saat gurunya pamit. Mereka saling berpelukan dan mengucapkan
terima kasih dengan cara Melati.
Kini Bunda yang meneruskan jejak
Karang. Bunda mengenalkan nama benda, apa fungsinya, dan lainnya. Bunda pula yang membacakan dongeng meski tak sebagus Karang sebelum buah
hatinya tidur. Meski masih kata “Baa..Maa..” yang keluar dari mulut kecilnya,
namun orang terdekat Melati sudah makin paham bahwa intonasi, irama,
ekspresinya berbeda untuk menamai tiap benda. Termasuk malam itu, Melati seakan sudah
mengucapkan kalimat yang mungkin hanya ada dalam angan dan mimpi Sang Bunda…
“Moga Bunda Disayang Allah”
Pesan Moral
Tere Liye banyak memasukkan pesan moral baik eksplist maupun
implisit.
Pesan Eksplisit
Pesan ini tertulis jelas
dalam isi buku, diantaranya :
1.
Hal yang menyakitkan di
dunia bukan ketika orang lain menyalahkan diri kalian. Tapi saat kalian
menyalahkan diri sendiri.
2.
Kita terlalu bebal untuk
mengerti betapa Allah Maha Pemurah atas seluruh hidup dan kehidupan.
Pesan Implisit :
1.
Sebagai umat beriman,
mengakui takdir Allah baik atau buruk adalah kewajiban. Dalam kisah buku ini,
Karang mestinya mengakui dan menerima takdir yang Allah tetapkan bahwa 18 anak
taman bacaan wafat karena tenggelam di laut.
2.
Terus berbaik sangka pada
takdir Allah berupa anak yang bisu dan tuli. Meski secara fisik tak sempurna
yakinlah Allah menetapkan kelebihan di hal lainnya.
3.
Mensyukuri semua nikmat
yang Allah berikan.
4.
Bersabar menerima keadaan termasuk
apa yang belum kita miliki. Karena masih banyak orang lain yang nasibnya lebih
buruk dari kita.
Catatan dari Tere Liye
Kisah buku ini terinspirasi dari Hellen Keller, wanita kelahiran Alabama Amerika
yang menderita tuna rungu dan tuna netra di usia 19 bulan. Bergurukan Anne Sullivan yang sama-sama buta. Hellen Keller berhasil mendobrak keterbatasannya menjadi banyak prestasi membanggakan. Ia menulis puluhan buku, dosen, dan aktivis politik. Hidupnya menjadi inspirasi banyak orang utamanya para penyandang disabilitas.
Buku Moga Disayang Bunda juga berdasarkan Film berjudul Black (India) yang juga menceritakan kisah seorang wanita buta tuli.
Ending
Sungguh, sebuah kisah dapat menjadi inspirasi dan sumur hikmah bagi orang-orang yang terpilih untuk bisa memahaminya. Seperti pada kisah Karang dan Melati karya Tere Liye ini semoga menjadikan kita bersyukur dan berbaik sangka atas semua ketetapan yang Allah berikan pada kita. Bahwa setiap makhluk-Nya mempunyai kesempatan dan janji masa depan yang lebih baik asal kita mau bergerak. Asal kita mau berusaha dan bertawakal untuk hasilnya.
Semoga Allah mudahkan, aamiin
Keren resensinya kak, apalagi ada tambahan pesan-pesannya 👍. Belum pernah baca novelnya Tere Liye, tapi setelah baca tulisan kakak jadi pengen intip-intip nanti kalo ke toko buku.
BalasHapusMa syaa Allah tabarakallah, Terima kasih. Btw ajak-ajak kalau ke toko buku ya kak 😍
HapusDitunggu review berikutnya ya say 🥰
BalasHapusBoleh mampir di tulisan berjudul "Kak Laisa Sang Bidadari Surga yang Membasuh Jiwa", review buku Tere Liye juga "Bidadari - Bidadari Surga" semoga kakak suka 🥰
Hapus